Kalau di tempat lain laki-laki yang memegang kendali dalam tradisi, maka tidak demikian di Lamongan.
Assalamu'alaikum... Di kabupaten kelahiranku ini, perempuan
yang memang punya kekuatan secara tradisional. Adat setempat menjadikan
perempuan sebagai pusat dari silsilah keluarga.
Begitu pula saat ada pernikahan di kampung, Desa Glagah, Kecamatan Deket. Setidaknya hingga saat
ini. Kuatnya peran perempuan ini lebih banyak terkait adat dan tradisi,
terutama perkawinan. Misalnya, dalam tradisi lamaran, pihak perempuanlah
yang melamar laki-laki. Padahal di tempat lain justru sebaliknya,
perempuan dilamar.
Di kampung kami, begitu pula di daerah lain di Lamongan, perempuan
mengubah posisinya lebih aktif (melamar), bukan pasif (dilamar). Tradisi lamaran oleh pihak perempuan ini biasanya disertai dua
jajanan khas, gemblong dan wingko. Gemblong terbuat dari ketan dengan
tekstur sangat lengket. Rasanya gurih. Kalau di Bali disebut jaja uli.
Adapun wingko terbuat dari beras dan kelapa. Rasanya manis. Ukuran satu
wingko selebar piring makan atau bahkan lebih.
Proses selanjutnya aku tidak tahu. Setahuku sih selanjutnya keluarga
laki-laki akan datang ke rumah pihak perempuan untuk menjawab lamaran
tersebut. Kuatnya posisi perempuan itu juga terjadi pada saat akad nikah.
Biasanya sih di masjid. Tapi, setelah itu akan langsung ke rumah
perempuan, bukan rumah laki-laki. Begitu pula dengan perayaan
pernikahan. Sampai aku umur 19 tahun selama mengikuti acara pernikahan , resepsi
nikah ini tak pernah aku temui diadakan di pihak laki-laki.
Begitu selesai akad nikah, maka pihak laki-laki ini akan diserahkan
oleh keluarga besarnya pada keluarga besar perempuan. Otomatis semua
proses selanjutnya akan diadakan di rumah pihak
perempuan.
Bahkan, mempelai baru ini pun akan tinggal di rumah pihak perempuan.
Ini dengan catatan pengantin baru tersebut tidak punya rumah sendiri
yang jauh. Kalau selama ini sih ya mereka akan tinggal di rumah orang
tua mempelai perempuan.
Dalam hubungan kekerabatan pun, keluarga dari pihak ibu biasanya
lebih dekat. Sepupuku dari pihak ibu sangat akrab. Namun, aku malah
nyaris tidak kenal dengan sepupu dari pihak bapak. Selain karena jauhnya
jarak juga karena memang secara psikologis kami jauh. Meski demikian, adat Lamongan terkait perkawinan ini fleksibel. Dia
bisa diterapkan sesuai kondisi. Biasanya sih kalau pihak laki-laki
Lamongan dapat perempuan di luar Lamongan, maka pihak laki-laki tetap
akan melamar. Dia tidak menunggu dilamar. Namun, kalau pihak perempuan
tersebut yang dari Lamongan, setauku sih dia tetap yang akan melamar.
Misalnya, kakak pertamaku yang menikah sama perempuan Betawi.
Keluarga kami yang ke Jakarta untuk melamar. Begitu pula aku yang
menikah sama perempuan Bali. Keluargaku yang ke Bali untuk ngidih alias
melamar ke keluarga istriku. Adat perkawinan ala Lamongan ini, menurutku, unik. Dia memberikan
warna berbeda pada sistem kekeluargaan di Indonesia pada umumnya yang
cenderung patrilineal, menginduk pada keluarga laki-laki. Di Lamongan
justru adatnya bersifat matrilineal, menginduk pada keluarga perempuan.
Jadi, di Lamongan, justru perempuan yang lebih punya kuasa.
Wassalamu'alaikum....
Source :- Picture-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar